Di lokasi saksi bisu sejarah perjuangan Sultan Hasanuddin itu, setiap hari, ratusan hingga ribuan pengunjung baik wisatawan lokal maupun mancanegera.
Segudang ilmu dan pengalaman bisa dibawa dari benteng yang berbentuk seperti penyu itu. Selain mengunjungi dua musium, I Lagaligo Sejarah dan I Lagaligo Budaya yang berada di dalam benteng, pengunjung pun bisa melihat tempat penahanan Pangeran Diponegoro di zaman penjajahan Belanda.
Sangat terasa suasana peninggalan sejarah ketika pengunjung mulai masuk ke dalam benteng melalui terowongan dan pos penjagaan. Di dalam Fort Rotterdam, terdapat 13 bangunan masih berdiri kokoh dengan taman hijau yang bisa dijadikan tempat berpose, bersantai, dan juga biasa dijadikan tempat berkumpulnya komunitas dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan.
Kebanyakan orang memilih duduk sambil ngobrol di tembok benteng yang lebarnya sekitar 3 meter mengelilingi gedung-gedung sejarah. Pemandangan yang indah saat tenggelamnya matahari bisa disaksikan dari benteng ini. Di sebelah, utara, timur dan selatan benteng, keindahan Kota Makassar menjadi pemandangan menakjubkan.
Fort Rotterdam yang dulunya dikenal dengan Benteng Ujungpandang ini baru saja direvitalisasi dengan dibuatnya sebuah taman kota di bagian sebelah selatan dengan menggunakan dana APBN 2010 sekitar Rp 8,9 miliar. Sebuah Kanal berukuran besar terbentang dari barat ke timur menambah keindahan di sekitar benteng.
Fort Rotterdam merupakan salah satu dari sejumlah benteng yang dibangun pada masa Kerajaan Gowa, sebagai pengawal dari benteng induk Somba Opu.
Tatkala pihak kolonial Belanda berhasil menaklukkan Kerajaan Gowa, Benteng Ujungpandang merupakan satu-satunya yang dibiarkan sehingga sampai kini masih berdiri kokoh.
Benteng Somba Opu, termasuk sejumlah benteng pengawal lainnya, seperti Benteng Kale Gowa, Benteng Panakkukang, Benteng Barombong, Benteng Garassi, Benteng Mangara Bombang, dan Benteng Ana' Gowa dihancurkan rata dengan tanah.
Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' Kallonna
Awalnya
benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan
Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi
batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah
Maros.
Fort Rotterdam ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan.
Orang Gowa-Makassar menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng Panyyua yang merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani perjanjian Bungayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda.
Pada saat Belanda menempati benteng ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.
Salah satu obyek wisata yang terkenal di sini selain melihat benteng, adalah menjenguk ruang tahanan sempit Pangeran Diponegoro saat dibuang oleh Belanda sejak tertangkap ditanah Jawa. Perang Diponegoro yang berkobar antara tahun 1825-1830 berakhir dengan dijebaknya Pangeran Diponegoro oleh Belanda saat mengikuti perundingan damai.
Diponegoro kemudian ditangkap dan dibuang ke Menado, lantas tahun 1834 ia dipindahkan ke Fort Rotterdam. Dia seorang diri ditempatkan di dalam sebuah sel penjara yang berdinding melengkung dan amat kokoh.
Di ruang itu ia disedikap dengan ditemani peralatan shalat, Alquran, dan tempat tidur. Banyak kemudian yang meyakini bahwa Diponegoro wafat di Makassar, lalu ia dikuburkan di situ juga.
Tapi ada pendapat lain mengatakan, mayat Diponegoro tidak ada di Makassar. Begitu ia wafat Belanda memindah ia ketempat rahasia agar tidak memicu letupan diantara pengikut fanatiknya di Jawa atau di situ.
Fort Rotterdam ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan.
Orang Gowa-Makassar menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng Panyyua yang merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani perjanjian Bungayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda.
Pada saat Belanda menempati benteng ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.
Salah satu obyek wisata yang terkenal di sini selain melihat benteng, adalah menjenguk ruang tahanan sempit Pangeran Diponegoro saat dibuang oleh Belanda sejak tertangkap ditanah Jawa. Perang Diponegoro yang berkobar antara tahun 1825-1830 berakhir dengan dijebaknya Pangeran Diponegoro oleh Belanda saat mengikuti perundingan damai.
Diponegoro kemudian ditangkap dan dibuang ke Menado, lantas tahun 1834 ia dipindahkan ke Fort Rotterdam. Dia seorang diri ditempatkan di dalam sebuah sel penjara yang berdinding melengkung dan amat kokoh.
Di ruang itu ia disedikap dengan ditemani peralatan shalat, Alquran, dan tempat tidur. Banyak kemudian yang meyakini bahwa Diponegoro wafat di Makassar, lalu ia dikuburkan di situ juga.
Tapi ada pendapat lain mengatakan, mayat Diponegoro tidak ada di Makassar. Begitu ia wafat Belanda memindah ia ketempat rahasia agar tidak memicu letupan diantara pengikut fanatiknya di Jawa atau di situ.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar